She Calls Me Sister

Kunjungan ke Philippines. Jika negara di Asia Tenggara seperti Singapore atau Malaysia memiliki informasi yang sangat lengkap dan mudah ditemukan di internet, lain halnya dengan negara yang juga akrab dipanggil Phils ini. Hampir sebagian besar informasi di internet membicarakan tentang sisi negatif negara ini. Mulai dari bandaranya yang jelek, tata kota yang semrawut, banyaknya permukiman kumuh, transportasi umum antar propinsi yang tidak memiliki jalur kereta (cuma ada bus dan itu banyak banget), polusi udara parah, serta banyaknya bencana alam yang mengancam (sering badai). 

Okelah, dari situlah saya kemudian meng-0-kan ekspektasi ketika mau berkunjung ke Philippines. Gambaran Manila yang seperti Jakarta cukup saya simpan saja, tidak perlu dipikiran sampe stress. Dan sampailah diri ini di Bandara Manila yang bernama Ninoy Aquino International Airport (NAIA) pagi hari abis subuh. Masuk ke lorong area kedatangan masih oke, lantai ber-karpet, tapi sepi sampai mentok di transit area yang ada dua toko dan satu meja informasi. Tak pikir ya bisalah duduk-duduk atau nyelonjorin kaki, ternyata kursi aja cuma ada di satu spot, dan itu dipake sama staff bandara berseragam. Sudah patah hati sama jawaban CS saat nanya lokasi prayer room dan dijawab bandara gak punya padahal saya yakin hasil browsing mengatakan ada kok prayer room di NAIA. Keluar imigrasi nanya ke tiga orang staff bandara dan Alhamdulillah ketiganya bilang ada prayer room di lantai 4. 

Landmark nya MoA

How lucky I am akhirnya menemukan prayer room di negara dimana muslim sangat minoritas. Di tempat itulah saya berkenalan dengan para staff bandara muslimah yang sangat ramah. Semuanya minimal tersenyum dan mengucapkan salam saat melihatku di mushola itu. Saya ngobrol cukup intensif dengan satu wanita yang sedari saya datang sudah ada di mushola, dia mengenalkan dirinya, account facebooknya (yang belakangan baru saya sadari, mostly orang Philippines itu hanya punya sosmed facebook, no more), dimana dia tinggal, hingga bagaimana perjalanannya menjadi muallaf. Saya tak kuat menahan senyum ketika dia menawarkan diri untuk mengantar saya jalan-jalan berhubung penerbangan saya selanjutnya masih jam 7 malam dan shift kerja dia selanjutnya ada jam 5 sore. MoA adalah tujuan kami, mall terbesar se Asia yang letaknya persis berbatasan dengan Manila Bay. Kenapa ke MoA? Karena saya bilang ke dia mau beli souvenir dan hasil browsing bilang ada toko bagus di MoA. 

Belakang MoA yang menghadap langsung ke Manila Bay

Asik, sister Abeedah, nama wanita Philippines itu, ngajakin naik bus dan jeepney, salah satu wish list ku kalo ke Manila. Untuk ke MoA terminal 1 kami harus dua kali ride. Jalan keluar bandara dulu di area kedatangan, nyebrang jalan, ketemu deh dengan bus dan jeepney yang bersliweran. Sister menggandeng tanganku takut ilang di seberang jalan menunggu bus yang tepat. Gak ada halte di sana, bisa naik dari mana saja. Naiklah kami ke satu bus (semua bus nya gede macam bus patas antar kota kalo di Jateng/ Jogja). Duduk di kursi paling depan. Kulihat masih sepi dan di kaca depan bus ada tulisan “free wifi”, senanglah hatiku sejak semalam belum bisa internetan. Begitu mau kukeluarkan hp, sister menyeruku supaya gak ngeluarin hp, rawan copet katanya. Baiklah, kupegang erat-erat tasku sambil ngobrol dan melihat sekeliling. Wah, takjub, masih banyak ternyata yang pake hp macam nokia pencet-pencet (apalah namanya) yang dulu ngetrend di tahun 2000an. Ngliat hape sendiri yang di Indonesia notabene milik seribu umat jadi merasa kaya raya saya di sana (wkwk, kidding lho). Ongkos bus dibayarin sister (12 peso each). Liat keluar jalanan sungguh semrawut, banyak banget bus lalu lalang dan tak kulihat satu sepeda motor pun di sana. Jalanan lumayan sedikit lebar sebenarnya tapi kemudian sering menyempit dipasangin pembatas portable berwarna orange. Tiap bus seakan berebut penumpang, sepanjang jalan malah mirip terminal. Yang ada cuma kendaraan roda empat. Kendaraan di Philippines pake setir kiri dan lajur nya menggunakan bagian kanan jalan. 

Jeepney yang muat banyak

Sampai Baclaran kami turun. Kata sister, Baclaran jadi semacam tempat transit bus atau jeepney (kayak stasiun Manggarai lah:D), dan kami harus ganti kendaraan lain karena bus tadi gak lewat MoA. Di Baclaran kami turun di pasar Baclaran, yang kayak sanmor UGM, tempat dijualnya produk-produk super murah. Sayang sekali kami ga jadi mampir sana pas pulang. Jalan menyusuri pasar tumpah itu dan naiklah di salah satu Jeepney tujuan MoA. Wah ini yang unik, naik Jeepney itu harus nunggu sampe penuh, di belakang sopir, penumpang duduk berhadap-hadapan di bangku sisi kanan dan kiri dengan lutut saling bersinggungan. Satu lajur bisa memuat hingga 9 orang, dan saya duduk di paling dalam, ga bisa bergerak. Ga bisa tengok-tengok, karena di kanan dan depan ada orang. Freezing wkwkw. Ketika jeepney melaju sopir dari depan menyodorkan keranjang kotak kecil berisi duit peso ke arahku ya. Ternyata penumpang cukup membayar 8 peso sesuai dengan tulisan di keranjang, yang kemudian dimasukan ke kotak itu, kalo butuh kembalian bisa langsung ambil sendiri, dan setelah bayar lalu sodorkan keranjang itu ke penumpang lain, begitu seterusnya sampe ujung belakang dan kembali lagi ke sopir. Kembali ongkos jeepney pun dibayarin.

Sampai di MoA, sebelum masuk mall barang kami diperiksa sangat teliti. Saya yang bawa ransel gede juga suruh buka dan digeledah, untung gak lama. Sister terus berada satu langkah di depanku dan kami pun menuju Kultura, gerai souvenir khas Philippines. Jangan tanya harga karena harga mall, satu magnet aja bisa berharga 99 peso alias hampir 30ribu rupiah. Sampai saat ini saya belum dapat tempat rekomendasi untuk beli souvenir dengan harga miring di Manila.

Tepat di belakang mall adalah Manila Bay. Sister ngajakin ke sana. Amazing! Sepi (karena hari senin mungkin), mendung sempat gerimis, tapi terasa luar biasa bisa menginjakkan kaki di sana, beneran di tepi teluk Manila yang menurut informasi tanah MoA ini merupakan lahan reklamasi. Kami berjalan di tepian teluk sambil bercerita banyak hal. Sampai pada satu pertanyaan tertuju padaku saat saya memandang teluk cantik itu “Di Indonesia ada kayak gini?”. What do you think fellas? 😉 

View Manila Bay dari MoA

Filipino yang hangat. Hingga keesokan hari pun selama saya di Philippines, semua orang sangatlah ramah. Terlebih lagi saat di prayer room terminal 1 dan 2. Justru rasa persaudaraan muncul walau hanya satu dua orang muslimah yang kutemui. Semuanya pasti menawari saya makan dan minum. Perpisahan dengan sister Abeedah kututup dengan pelukan hangat dan air mata di atas bus. Betapapun bertemu saudara seiman di tempat asing sangatlah menguatkanku dan menentramkan. Tak lama setelah pertemuan itu, dia pun membuat instagram account, dan disitulah kami masih menjalin komunikasi hingga saat ini. Saya turun lebih dulu di terminal 2 NAIA dan kembali mengembara penasaran apa yang bakal terjadi selanjutnya di destinasi selanjutnya. 

Komentar

Postingan Populer