A Gift
![]() |
Captured by : Ditha |
Entah apa yang terpikir di benakku 3 tahun lalu. Tahun 2016 bulan Februari. Mengawali awal tahun dengan berbagai resolusi. Dulu, iya dulu, aku selalu memberi nama tiap tahun sesuai grand design hidupku di tahun itu. Misalnya adalah tahun investasi, yaitu aku banyak menginvestasikan waktuku untuk banyak hal seperti banyakin ikut kelas tasqif, les bahasa, dan membaca banyak hal. Di tahun 2016 inilah awal mula perjalananku melabuhkan asa untuk menempuh pendidikan lanjut di program master.
Tujuan utamaku adalah tidak
kuliah di UGM (lagi). ITB sempat kulirik dengan mengirim pertanyaan via email
ke salah satu jurusan yang kuminati, saat itu yang berhubungan dengan arsitektur
atau perencanaan kota, namanya rancang kota kalau ndak salah. Sayangnya yang
berujung syukur, program itu tidak menerima mahasiswa dari jurusanku S1 (Teknik
Geodesi) alias harus linier. ITB bukan tujuan utama sejatinya, tapi
kumelabuhkan impian di Belanda, negeri yang sudah lama kudambakan untuk mencari
ilmu di sana. Di bidang apa aku pun tak yakin, yang penting Belanda aja. Labil memang.
Beberapa presentasi beasiswa kudatangi, salah satunya Nufic Neso, pemberi
beasiswa dari pemerintah Belanda. Waktu itu aku belum kenal betul dengan
namanya IELTS dan ternyata banyak pemburu beasiswa juga berburu IELTS. Standar
yang sangat tinggi membuatku gak pede. Apalagi tes IELTS sangatlah mahal
bagiku, hampir 3 juta rupiah. Kesalahanku waktu itu adalah takut mencoba, menganggap
yang keterima beasiswa adalah orang-orang yang aktif dan enerjik dalam
mengemukakan pendapat. Kuambil itu sebagai pelajaran untuk diriku.
Perjalanan berlanjut dengan melintasnya brosur tawaran program Double degree di UGM untuk minat studi Geoinformation for Spatial Planning and Disaster Risk Management. Rasanya mak jeder bagiku karena seperti petunjuk di saat aku tak tahu secara spesifik harus ngambil program apa. Brosur ini seperti jawaban atas segala hal yang kuharapkan. Double degree ITC Belanda dan Pascasarjana UGM: pas banget, Jogja 1 tahun, Belanda 1 tahun. Dari segi background aku pernah terlibat megawe dalam kegiatan kebencanaan dengan salah satu konsultan dan BPBD DIY; kegiatan perencanaan wilayah di Dinas Tata Ruang Sleman, dan tentunya pemetaan di kuliah S1, BPN Kanwil DIY, BBWSO Serayu-Opak, ESDM Sleman, dan beberapa konsultan. Program studi ini seperti akumulasi dari 3 bidang yang aku pernah terlibat di dalamnya: geoinformasi, penataan ruang, dan manajemen bencana. UGM, iya, yang awalnya tidak ingin sekolah lagi di UGM, adanya minat studi ini memantapkanku untuk mengambil kesempatan ini sebagai batu loncatan untuk ke Belanda.
Perjalanan berlanjut dengan melintasnya brosur tawaran program Double degree di UGM untuk minat studi Geoinformation for Spatial Planning and Disaster Risk Management. Rasanya mak jeder bagiku karena seperti petunjuk di saat aku tak tahu secara spesifik harus ngambil program apa. Brosur ini seperti jawaban atas segala hal yang kuharapkan. Double degree ITC Belanda dan Pascasarjana UGM: pas banget, Jogja 1 tahun, Belanda 1 tahun. Dari segi background aku pernah terlibat megawe dalam kegiatan kebencanaan dengan salah satu konsultan dan BPBD DIY; kegiatan perencanaan wilayah di Dinas Tata Ruang Sleman, dan tentunya pemetaan di kuliah S1, BPN Kanwil DIY, BBWSO Serayu-Opak, ESDM Sleman, dan beberapa konsultan. Program studi ini seperti akumulasi dari 3 bidang yang aku pernah terlibat di dalamnya: geoinformasi, penataan ruang, dan manajemen bencana. UGM, iya, yang awalnya tidak ingin sekolah lagi di UGM, adanya minat studi ini memantapkanku untuk mengambil kesempatan ini sebagai batu loncatan untuk ke Belanda.
Alhamdulillah LPDP menerimaku
sebagai salah satu awardee nya. Dalam hitungan hari sejak pengumuman hasil
seleksi LPDP, aku mendaftar di UGM di hari mendekati deadline pendaftaran. Skenario
yang indah pikirku. Semuanya begitu cepat dan tak terduga. Hingga akupun
kembali tercatat sebagai mahasiswa di UGM. Ada satu hal yang menjadi impianku
jika aku sekolah lagi, yaitu memaksimalkan kegiatan akademik dan non akademik
di kampus. Jika S1 aku jarang memikirkan akademik, S2 ini kubertekad untuk
menggali pengalaman sebanyak-banyaknya selagi berstatus mahasiswa.
Allah ya Allah, rencanaNya lebih
indah. Aku tidak jadi bisa join Double Degree karena tidak memenuhi syarat. Padahal
bisa dikatakan itulah tujuan awalku dulu. Duniaku hancur? Tidak sama sekali. Aku
bersyukur pernah mempersiapkan ke Belanda. Di kelas sering aku dan teman-teman
melakukan simulasi IELTS, akupun mengambil les IELTS dan beberapa kali tes
prediksi IELTS di lembaga bahasa. Aku pun sudah hampir mendaftar real test
IELTS tapi qodarullah tanggal yang kuinginkan sudah full seat di IDP Jogja, padahal
pendaftaran double degree sudah mepet. Akhirnya apa? Yang tidak jadi daftar.
Meski tidak ke Belanda, Allah
menggantinya dengan yang lebih banyak. Di S2 inilah aku mulai tahu dunia tulis
menulis jurnal. Aku tadinya adalah seorang yang mendeklarasikan diri bukan
akedemisi dan gak bisa menulis karya ilmiah. Tapi iklim S2 ini seakan
menuntunku untuk mengenal lebih jauh apa itu penelitian dan bagaimana
menuliskannya. Aku jadi kenal apa itu journal (FYI di S1 aku sama sekali gak
kenal apa itu journal. Skripsi ya hanya pake refernsi text book dan skripsi
sebelumya); kenal apa itu proceeding dan publikasi; bagaimana proses menjadi
presenter di seminar; bagaimana menulis karya ilmiah dalam waktu yang sangat
singkat; bagaimana membuat proposal penelitian. Jika ada yang bilang ilmu itu
bisa dapat dimana saja, itu benar. Tapi kuliah itu tidak hanya ilmu yang bisa
ditemukan dengan mudah di text book. Ada interaksi mahasiswa dengan dosen yang
membentuk pola pikir baru, ada interaksi antar mahasiswa yang menumbuhkan
diskusi terpelajar dan kadang canda tawa, ada kondisi diri yang memaksa kita
harus mengupgrade diri.
Kegiatan non akademis juga jadi
bagian dari impianku. Jika saat S1 aku justru menyibukkan diri di organisasi
luar kampus sehingga tidak kenal banyak orang-orang kampus, kini aku bergabung
di HIMMPAS UGM. Memang secara kultur organisasi di S2 tidaklah sekental di S1
dimana mahasiswanya sudah tidak fokus seutuhnya dan memiliki tanggung jawab
lain yang lebih besar dibanding organisasi. Ditambah dengan masa studi yang
pendek sehingga efektivitas program kerja menjadi perhatian khusus. Tidak bertele-tele
dan berlama-lama, aku hanya ibarat mencelupkan sebagian biskuit oreo ke secangkir
susu di organisasi ini. Kusyukuri ini sebagai bagian dari pembelajaran untukku
yang berkeinginan terlibat di organisasi kampus.
Di tengah tahun perkuliahan,
peluang akademis lain muncul, yaitu exchange ke Jerman. Niat hati ingin apply
hingga berkali-kali berkorban rupiah untuk tes TOEFL, tapi gak lolos tetap
aplikasi ke Jerman. Entah berapa kali aku apply program-program yang berujung tak
ada kabar yang artinya tidak lolos. Hikmahnya aku tetap mencoba, membuka semua
kran, semua peluang. Akibat hasrat yang ingin diwujudkan inilah akupun
merelakan untuk gak lulus tepat waktu selama 2 tahun (ngeles, emang karena gak
digarap-garap tesisnya). Tak apa, targetku bukanlah masa studi tapi ‘isi’
studi, sudah kuisi dengan apakah studiku ini.
Alhamdulillah, I’m trying to connect the dots. Kamis depan aku
ujian tesis. Kulihat kembali ke belakang apa yang telah kulalui, suka duka
perjalanan menempuh studi ini. Aku dengan bangga ingin mengapresiasi diri ini
atas keberanian mengambil secuil peluang untuk diwujudkan. At least this story is a gift for myself. Setidaknya di S2 ini aku menjadi presenter paper
di 1 seminar nasional UMS Solo dan 1 international conference di Filipina,
mengirim karya tulis bersama rekan-rekan di Seminar Nasional BIG dan Pekan
Ilmiah Tahunan Riset Kebencanaan di UI, mengikuti summer school di Tsinghua
University China, melakukan riset di Jepang (UTokyo dan Kyoto Univ), dan
merealisasikan impian sejak S1 yaitu punya tugas akhir bertemakan bangunan 3
dimensi yang bismillah on going to be published.
Aku, untuk diriku: jangan menyerah, jika tidak ingin menyesal ambil peluangmu. Dalam beberapa tahun ke depan kamu akan menyesal atas hal yang gak kamu lakukan, bukan yang kamu gagal atasnya. (*sambil menepuk pundak sendiri). Seperti kata Liliyana Natsir “Jangan malu kalo kalah, tapi malulah kalo menyerah!” Salam olahraga!
Komentar
Posting Komentar