Traveling yang Sangat Geospasial
Dalam UU No 4 tahun 2011 tentang
Informasi Geospasial, geospasial didefinisikan sebagai aspek keruangan yang
menunjukkan lokasi, letak, dan posisi suatu objek atau kejadian yang berada di
bawah, pada, atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat
tertentu. Dalam menerjemahkan geospasial agar lebih mudah dipahami, kita dapat
menyadur sebuah tagline dari ESRI
bahwa geospasial sebagai The Science of
Where. Dengan kata lain, bicara geospasial pasti bicara posisi dan lokasi.
Setiap orang pasti mempunyai
pengalaman terkait lokasi, setiap hari, dalam kegiatan apapun, termasuk traveling. Sedikit cerita berikut dapat
membuktikan bahwa traveling mau tak
mau pasti melibatkan geospasial.
Saya sebut kesalahan hari itu
adalah tidak menyimpan offline maps
sebanyak-banyaknya sebagai bekal di Hat Yai. Kamis, 9 Maret 2017, menuju
Thailand lewat jalur darat dari Penang, Malaysia tidak membuat saya khawatir. Kalau saja saya tau bakal ada obstacle
menghadang saat perjalanan, persiapan akan lebih saya matangkan.
Kesalahan kedua adalah tidak
mempelajari lokasi strategis untuk menginap di Hat Yai. Saya memang sudah booking penginapan tapi ternyata minivan yang saya naiki menolak untuk
menurunkan di alamat tersebut dengan alasan jauh dan tidak lewat.
Terimakasih banyak kepada google maps (gmaps) yang berperan besar membersamai perjalanan saya. Gmaps menunjukkan perjalanan
Melaka-Butterworth dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 7 jam via kendaraan
roda 4. Arahnya pun saya pelajari, bahwa menuju Butterworth itu ke arah utara
dan melewati semacam jalan nasional Malaysia. Hal itu berguna sekali selama di
perjalanan naik bus karena saya jadi bangun sekitar setengah jam sebelum sampai
tujuan setelah pulas tidur. Betul saja, berdasar gmaps, saya memperkirakan bakal tiba di Butterworth pukul 5 pagi. Bus
pun sampai di terminal Butterworth pukul 5 lebih sedikit.
Beruntungnya, saya masih punya
paket data internet sehingga cukup mudah untuk mencari rute ke lokasi tertentu.
Namun, perbatasan Malaysia – Thailand tidaklah mudah ceritanya ketika internet otomatis
tidak berfungsi. Sim card Malaysia
tidak bisa digunakan begitu masuk Thailand. Sementara tidak ada toko
berjualan data internet di perbatasan. Ditambah lagi kendala bahasa yang saya
tidak menguasai kecuali kata tao lai (berapa harganya) dan kopkhun
(terimakasih). Sedikit beruntung karena saya sudah mencatat alamat calon
penginapan di blocknote. Kutunjukkan alamat itu ke sopir minivan, kemudian malah dimintanya untuk menunjukkan lewat gmaps. Inilah salah satu bukti bahwa geospasial
menyatukan pemahaman manusia yang berasal dari budaya yang berbeda-beda.
Mungkin tulisan latin saya tidak bisa dipahami dengan baik, namun ketika saya
tunjukkan peta, sopir mengerti. Kemudian, sopir menolak untuk mengantar karena
ternyata dia tidak akan lewat tempat yang dimaksud, sehingga saya pun akhirnya
diturunkan di terminal Hat Yai.
![]() |
Gambar 1. Rute ke penginapan
pertama yang tidak dilewati sopir (Sumber: dok. pribadi, 2017)
|
Sesampai terminal, saya tak punya paket internet. Hanya mengandalkan screenshot gmaps dan offline maps yang tidak dapat maksimal digunakan terutama ketika skala diperbesar. Untungnya, terminal Hat Yai termuat di peta hasil screenshot. Setidaknya ada gambaran kemana harus melangkah jika ingin menginap ke tujuan awal (gambar 1). Tidak berhenti di situ, masalah muncul dengan tidak ada yang bisa saya tanyai mengenai transportasi yang tepat untuk membawa kesana karena bahasa yang berbeda. Sempat bertanya ke beberapa orang seperti agen tiket, sopir taksi, pelajar, penjaga toko, sampai perempuan muda, namun hasilnya nol. Hampir semua orang yang saya temui hanya bisa berbahasa Thailand. Hanya satu sopir taksi yang bisa berbahasa Inggris namun ternyata dia tidak ramah. Seorang kasir Seven Eleven tampak kebingungan ketika saya bertanya, begitu juga seorang perempuan yang justru lari ketika saya datangi untuk bertanya. Malah, seorang pelajar sempat menunjukkan ke arah tenggara ketika saya tanya alamat penginapan alternatif (yang seharusnya utara berdasar pemahaman dan ingatan saya ketika sudah membaca peta yang ada (gambar 2)).
![]() |
Gambar 2. Screenshot peta kawasan penginapan alternatif (Sumber: dok. pribadi, 2017) |
Hari makin
gelap. Setelah berjalan memutari terminal, sopir songthaew (semacam angkot)
melambaikan tangannya bertanya dengan bahasa Thailand akan kemana saya. Hanya
alamat penginapan alternatif kedua yang saya punya, yang saya pikir tempatnya
lebih dekat dari terminal. Setelah perundingan alamat dengan bahasa ‘tarzan’
atau bercakap-cakap melalui gerakan tangan, saya pun naik. Sepanjang perjalanan
banyak orang turun dan naik angkot itu, sedangkan saya hanya terdiam cemas
sambil terus menghidupkan aplikasi kompas di smartphone. Saya hanya menghafalkan lewat peta seadanya bahwa seharusnya
saya dibawa menuju arah barat laut. Awalnya tidak ada tanda-tanda yang bisa
saya kenali karena tulisan di jalan memakai alphabet Thailand, kemudian satu-persatu
big public space yang terrekam oleh offline map saya lewati. Lega, saya
ternyata berada di jalan yang benar.
Itulah
geospasial, menjadi petunjuk ke ‘jalan yang benar’. Geospasial dapat mengerti bahasa semua orang
karena menerjemahkannya ke dalam simbol titik, garis, dan luasan sehingga saat
terkendala bahasa bertemu orang asing, geospasial menjadi andalan (gambar 3). Traveling without geospatial thingy is out
of the question because we always ask 'where'.
![]() |
Gambar 3. Aplikasi geospasial dalam bentuk peta wisata (Sumber: dok.pribadi, 2017) |
Referensi :
Undang-undang Nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
Undang-undang Nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
so seru! sungguh memacu adrenalin. kapan kita kemanaaa?
BalasHapusKm telah mendapatkan gap dari penelitian ttg geospasial. Inspirasi yg baik untuk menyimpan peta secara offline, semua kebutuhan harian masyarakat kini tertuju pada geospasial.
BalasHapuskeren mi, pasti sebelumnya berpengalaman tentang pentingnya peta baik offline maupun online ya?bisa jadi referensi nih terutama aku yang gak kepikiran hidup tanpa sinyal buat ngandelin gps di smartphone.
BalasHapus*jadi inget trip kita ke kawah putih dan lembang bandung yang bermodal google maps aja.